Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau (Kemenag Kepri) mengajak pelajar untuk menerapkan sikap moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Analis Kebijakan Kanwil Kemenag Kepri RI, Utha Chuandra dalam seminar bertema “Memperkuat Peran Lembaga Pendidikan Dalam Moderasi Beragama” di Auditorium Razali Jaya Sekolah Tinggi Agama Islam Sultan Abdurrahman (STAIN SAR), Jumat 8 Maret 2024, mengatakan bahwa sikap intoleransi sudah menjalar ke sejumlah pelajar.
Meski jumlahnya relatif tidak banyak, lembaga pendidikan dan orang tua memiliki peran yang besar untuk mencegah sikap intolelir yang dapat menimbulkan konflik.
“Dari pengamatan saya, ada pelajar yang terpapar sikap intoleran. Tentu ini perlu mendapat perhatian oleh lembaga pendidikan dan para orang tua,” ujar Utha dalam seminar yang diselenggarakan Jaringan Penggerak Moderasi Beragama Nusantara Kepri.
Di hadapan sekitar 400 orang pelajar dan mahasiswa tersebut, ia menjelaskan bahwa lembaga pendidikan terutama pendidikan Islam sejatinya berfungsi sebagai katalisator dan jembatan untuk mengoreksi pemahaman yang sempit, menuju sikap keagamaan yang moderat.
Menurutnya, konsep moderasi mencari titik temu antara berbagai aspek keagamaan, mengintegrasikan teologis, syariah, dan mistisisme dalam satu kesatuan.
“Dengan kata lain, moderasi memiliki peran penting dalam mengatur polarisasi dalam relasi keagamaan,” ujarnya.
Ketua Persatuan Pondok Pesantren Bintan, Suparman Manjan, yang menjadi pemateri dalam seminar kebangsaan tersebut mengatakan bahwa semua agama mengajarkan hal yang baik, dan tidak ada agama yang mengajarkan perang.
Ia juga meluruskan pemahaman peserta terkait istilah moderasi beragama yang selama ini disalahartikan.
Maksud moderasi agama menurut pengasuh Pondok Pesantren Al Idris Bintan ini ialah memoderasikan sikap dalam beragama, dengan tujuan menjaga keseimbangan yang paripurna dalam perbedaan.
“Atau bisa diistilahkan sebagai komitmen untuk bersama,” ujarnya.
Pemateri lainnya dari STAIN SAR, Zulfa Hudiyani menjelaskan Indonesia bukanlah negara agama tapi negara yang beragama.
Sehingga kehidupan beragama di Indonesia harus berdasarkan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang maha esa. Hal ini perlu dilakukan agar bangsa Indonesia tetap bisa merawat keberagaman.
“Agama itu sakral (suci), sedangkan pilihan beragama itu plural (beragam),” ucapnya.
Zulfa juga memperkenalkan konsep ‘peta bukanlah wilayah’ yang mempunyai makna filosofis yaitu apa yang terjadi di luar kepala (kenyataan) tidak sesuai dengan yang di dalam kepala (asumsi).
“Hal inilah yang membuat kadang beberapa orang tidak bisa menerima perbedaan karena kita sangat meyakini apa yang kita pikirkan tanpa mau melihat realitas yang terjadi,” ujarnya.
Pada akhirnya sikap inilah yang menyebabkan intoleransi di tengah masyarakat karena setiap orang hanya mengikuti isi kepalanya. Sehingga menurutnya, dalam menjalankan komitmen kebangsaan masyarakat harus setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta memperkuat toleransi dan anti terhadap kekerasan.
Zulfa juga memperkenalkan 9 kata kunci dalam moderasi beragama yaitu, kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, penghormatan kepada tradisi.
Pemateri selanjutnya, Zamzami A Karim, mantan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Raja Haji. Ia menyatakan bahwa orang Indonesia ditakdirkan dalam perbedaan. Namun, ada saja unsur kebencian dan polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat seperti mobilisasi sentimen etnis dan keagamaan yang difokuskan pada perilaku ‘elit’ dan ada yang fokus pada massa melalui 3 saluran yakni, lewat keanggotaan organisasi, paparan media sosial, sentimen kedaerahan, dan sentimen Jawa vs luar Jawa.
Menurut Ketua Komite Sekolah Tanjungpinang itu, media sosial merupakan saluran yang paling banyak memberi pengaruh terhadap perilaku intoleransi. Hal ini terjadi karena seringkali medsos digunakan sebagai media untuk menyalurkan ujaran kebencian yang menimbulkan pertengkaran di medsos.
“Sehingga untuk menghadapi permasalahan tersebut pendidikan moderasi beragama tidak hanya harus masuk kedalam kurikulum namun juga kedalam hati peserta didik,” ujar Zamzami.