Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini sudah merambah ke seluruh sektor kehidupan era kini. Tak terkecuali pada dunia perbankan yang bahkan bergerak cepat beriringan dengan perubahan digital yang terjadi.
Mulai dari pelaku keuangan secara personal (nasabah perorangan) hingga secara kelompok baik itu kepentingan bisnis maupun lembaga dan perkumpulan. Di mana aktivitas keuangan perbankan pasti akan beralih dari konvesional menuju digital baik secara perlahan maupun cepat, butuh ataupun tidak butuh, mau atau tidak mau.
Tentunya, perkembangan ini akan memiliki kelebihan dan kelemahan. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa tantangan di era keuangan digital ini pun akan muncul dengan berbagai bentuknya juga mengikuti perkembangan yang terjadi. Termasuk dari sisi keamanan transaksinya.
Hal itu terlihat dari pemberitaan atas kasus yang muncul selama ini, di tengah gencarnya perubahan transaksi keuangan ke digital, terlihat pula berbagai bentuk kejahatan perbankan yang muncul. Seperti peratasan, penipuan, skimming dan aksi kejahatan digital lain dengan berbagai modusnya.
Baca Juga
Menurut Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas V.M. Tarihoran, perubahan era digital ini menggeser cara-cara lama, misalnya hadirnya belanja online. Pergeseran ini didorong dengan prilaku masyarakat yang ingin mudah dan cepat. Begitupun di sektor bisnis.
โKami di regulator jika tidak menyikapinya dengan regulasi dan pengawasan ketat dapat menimbulkan kegagalan tahap-tahap selanjutnya, termasuk persoalan perlindungan konsumen,โ ujar Horas saat mengisi materi dalam workshop โLiterasi Keamanan Digital Perbankan, Peduli Lindungi Data Pribadiโ yang digelar AMSI dan BNI, Jumat (19/8) lalu.
โPerubahan prilaku konsumen juga akan menuntut inovasi cepat, yang tentu akan menimbulkan resiko fraud dan sebagainya,โ tambahnya.
Horas menuturkan, dengan melihat sisi kebijakan dan peraturan serta perkembangan teknologi tersebut beserta resikonya, dapat mempengarungi ketidakpercayaan pasar dan juga penurunan inklusi.
Di mana Indonesia sendiri, pada tahun 2019 indeks inklusinya masih rendah yakni berada di 76,9 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara tetangga Singapura, Malaysia dan Thailand. Selain itu indeks literasi keuangan juga relatif masih rendah yang menjadi celah bagi pelaku kejahatan.
โDi tahun 2019 indeks literasi keuangannya 38,03 persen. Kami sedang menyusun survei ke-empat di tahun 2022 ini,โ bebernya.
Ia menambahkan, ada beberapa tantangan dalam meningkatkan literasi keuangan tersebut di Indonesia. Di antaranya faktor geografis Indonesia, akses internet yang belum merata, ada 21 provinsi yang indeks literasi di bawah nasional, adanya gap indeks literasi di wilayah desa dan kota, serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang berbeda.
Dalam workshop itu, Horas mengungkapkan setidaknya ada 4 resiko keuangan di era digital ini. yakni terkait perlindungan konsumen, keamanan data pribadi, keamanan siber, dan juga aktivitas pelanggaran hukum seperti pencucian uang hingga pendanaan terorisme.
Sementara mengenai kejatan keuangan yang terjadi di antaranya praktik skimming, SIM Swap, Social Engineering, Psihing, Vishing, hingga impersonation.
โSehingga perlu adanya keseimbangan adara inovasi dan perlindungan konsumen,โ pungkasnya.
Cara Cakap dan Aman Transaksi Digital
Dalam workshop yang sama Ketua IEEE Computational Intelegence Society Indonesia Chapter, Prof. Ir Teddy Mantoro mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2021 ada 1,6 miliar anomali trafik secara global. Jumlah ini meningkat 3 kali lipat jika dibandingkan tahun 2020. Di mana di antaranya ialah sektor perbankan.
โJika terjadi kebocoran data (keuangan), orang paling di depan adalah perbankannya,โ ujar Teddy memulai pembicaraan.
Menutup pembahasan cybersecurity, Ketua Indonesia Neural Network Society (IdNNS) Sampoerna University ini menyampaikan sejumlah saran untuk perlindungan data pribadi di internet. Seperti mengaktifkan privacy di browser, menggunakan sumber internet sendiri, berhati dengan meeting online, pilih password yang kuat dan juga menjaga informasi pribadi lainnya.
โJuga usahakan mobile ada antivirus,โ ujarnya.
Teddy juga menyarankan agar ikut bertindak terhadap kejahatan siber, seperti melaporkan situs sejenis ke instansi terkait yakni Kemkominfo.
Para nasabah atau personal juga perlu cakap atau memiliki literasi dan belajar terhadap perkembangan keuangan digital. Selain itu berhati-hati dalam memasukkan credential (password login) termasuk ketia melakukan transaksi. Juga mengaktikan Two Factor Authentication (TFA).
โUntuk perbankan juga harus proaktif menangkap keluhan/complaint dari pelanggan terkait problem transaksi digital serta menayangkannya di web,โ ujarnya.
Upaya BNI untuk Keamanan Keuangan Digital
Masih di workshop yang sama, Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI Rayendra Minarsa Goenawan, mengaku pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi keuangan digital ini.
Bahkan, kata dia, BNI sendiri telah bersinergi dengan regulator baik OJK maupun Bank Indonesia mengenai perlindungan konsumen ini, di mana literasi adalah pintu untuk perlindungan data nasabahnya. Namun demikian, disampaikannya bahwa keamanan keuangan digital ini tidak hanya menjadi tanggung jawab perbankan, melainkan penting juga dari pemilik data diri (nasabah).
โMaka end user sebagai pemilik ada adalah setiap orang yang menggunakan produk sehingga literasi harus ditingkatkan seiring kenaikan inklusi,โ kata Rayendra.
Selain literasi, lanjut dia, BNI juga menyiapkan sejumlah langkah strategis, seperi pusat pengaduan (BNI Contact Center) yang aktif 24 jam setiap hari. Nasabah dapat menghubungi pusat pengaduan ini melalui telepon 1500046, mengirim email [email protected] dan juga datang langsung ke kantor cabang BNI terdekat.
Selain pusat pengaduan, BNI juga kini memiliki unit yang memantau transaksi nasabah dan menerima laporan pengaduan nasabah dalam 24 jam dalam 7 hari serta telah menjalankan fungsi fraud detection yang berfungsi mendeteksi aktivitas fraud secara real time.
Tidak hanya itu, BNI juga telah mengikuti aturan Bye Laws yang dirilis oleh Bank Indonesia. di mana Bye Laws sendiri merupakan pedoman pelaksanaan pemblokiran rekening simpanan nasabah dan pengembalian dana nasabah dalam hal terjadinya indikasi tindak pidana yang bertujuan agar uang hasil kejahatan diblokir. Bye Laws dipergunakan oleh Perbankan untuk keseragaman pelaksanaan dalam praktik Perbankan bagi bank peserta Bye Laws.
โBNI terus berupaya untuk mematuhi arahan OJK sebagai pengawas perbankan untuk melakukan edukasi kepada nasabah terkait perlindungan data nasabah melalui berbagai channel,โ tukasnya.
Dalam kesempatan itu, Rayendra mengimbau nasabah untuk selalu menjaga kerahasiaan informasi pribadi termasuk PIN dan OTP transaksi. Ketika kartu atau identitas keuangan hilang segera menghubungi call center, termasuk jika ada hal mencurigakan.
Nasabah juga harus waspada, dengan tidak memberikan maupun meminjamkan kartu kredit maupun debit kepada siapapun. Lengkapi pula gawai telepon genggam dengan anti virus dan tidak menggunakan fasilitas WIFi publik dalam melakukan transaksi.
Daftarkan email atau SMS notifikasi transaksi dan melakukan pembaruan data kepada pihak bank bila ada perubahan data. Terakhir, menghindari transaksi melalui web yang tidak dikenal maupun pada merchant e commerce yang tidak mengimplementasikan 3D secure.