Keputusan pemerintah melalui PT Pertamina Patra Niaga yang telah menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi dengan kenaikan 21 persen dari rata-rata harga CPA (Contract Price Aramco) sepanjang tahun 2021, dianggap DPR RI sebagai kelalaian pemerintah dalam melakukan pencegahan agar gas subsidi tepat sasaran.
Diah Nurwitasari anggota DPR RI menyebutkan masih banyak ditemukan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seperti rumah makan, industri mikro makanan, dan sebagainya yang menggunakan gas elpiji nonsubsidi.
Meskipun komparasi penggunaan gas elpiji subsidi dan nonsubsidi adalah 93 persen berbanding 7 persen, namun kebijakan pemerintah tersebut masih sangat disayangkannya.
“Nah kalau (gas elpiji nonsubsidi) naik kan mereka kena imbas, malah nantinya mereka beralih ke elpiji bersubsidi. Itu artinya, pemerintah hanya mengandalkan fungsi pengawasan saja,” ujarnya melalui siaran parlementeria, Senin (14/03).
Baca Juga
Kondisi ini menurutnya juga akan memberatkan APBN.
“Ditengah kondisi masyarakat kita yang serang terpuruk karena kenaikan (harga komoditas energi) yang berturut-turut, BBM naik, gas juga naik. Harusnya (harga) jangan naik dulu, tunggu sampai perekonomian membaik dulu. Kan (beban) masyarakat jadi berat,” ujarnya.
Per 1 Maret 2022 yang lalu, pemerintah sudah resmi menaikan harga gas elpiji non subsidi. Kenaikan harga ini berbeda-beda di beberapa tempat. Untuk gas elpiji 5,5 kilogram maupun 12 kilogram. Dengan adanya kenaikan, harga elpiji non subsidi yang berlaku saat ini sekitar Rp15.000 per kilogram.