Pemasangan garis polisi atau police line di salah satu area lahan di jalan Soekarno Hatta Poros, mendapat protes dari pihak yang menyebut sebagai pemilik lahan tersebut.
Protes yang dilakukan melalui jejaring media sosial itu, dianggap sebagai tindakan framing yang berlebihan dan memuat unsur merendahkan citra dan marwah penegakan hukum terhadap permasalahan ini.
“Sehingga untuk mendewasakan masyarakat dan tidak ada penggiringan opini maka kami menganggap perlu untuk diklarifikasi dan diluruskan demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan,” ujar Kuasa Hukum PT WJMP, Trio Wiramon.
Tanah yang berada wilayah Kelurahan Baran Timur dengan luas 22.678 meter persegi itu, diketahui merupakan milik PT Wira Jaya Mulia Pratama (WJMP). Dibuktikan dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 00163.
Lokasi lahan tersebut sebelumnya juga telah dipasang plang dan pagar kawat berduri sejak tahun 2021 sebagai identitas kepemilikan yang sah secara hukum.
Bahkan untuk memvalidasi kepemilikan yang sah atas objek tanah tersebut, kuasa hukum PT WJMP juga sempat mengajukan permohonan pengembalian batas ke kantor Badan Pertanahan Karimun pada 2 Juni 2022 lalu dan ditindak lanjuti sesuai dengan berita acara pengembalian batas SHGB No. 00163/Baran Timur yang juga disaksikan aparat kepolisian.
Kasus ini justru bermula setelah pihak PT WJMP yang diwakili Direktur, Heriyanto melalui kuasa hukumnya Trio Wiramon & Edward Kelvin Rambe, membuat laporan adanya penyerobotan tanah yang diduga dilakukan pihak bernama Kahar ke Polres Karimun (Unit IV Tipidter) pada tanggal 28 Januari 2024.
“Penyerobotan itu dengan melakukan aktivitas penimbunan tanah di atas lahan tersebut menggunakan truk atas perintah pihak bernama Kahar,” terangnya.
Pihaknya selaku kuasa hukum PT WJMP, lantas melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian sebagai upaya dan langkah hukum yang sah menurut Undang-Undang didukung dengan bukti otentik berupa dokumentasi.
“15 Februari 2024 kita terima SP2HP terkait pemberitahuan perkembangan dan pengaduan yang kemudian ditindak lanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap kuasa hukum, pelapor, saksi pelapor, RT/RT, dan terlapor,” jelasnya.
Sementara Kahar sebagai terlapor, sebelumnya juga telah menjalani proses pemeriksaan pada 30 Agustus 2024, namun mengingat proses pemeriksaan dilakukan pada waktu salat Jumat, maka terlapor akan kembali setelahnya. Namun terlapor tidak kembali untuk menjalani pemeriksaan.
Rangkaian kasus ini lalu berujung pada pemasangan garis polisi di area lahan sebagai fungsi memfasilitasi proses penyelidikan dan penyidikan kejahatan.
“Bukan tanpa dasar, pemasangan garis polisi berdasarkan laporan dari kami kuasa hukum terhadap aktivitas di atas objek lahan milik klien kami yang sudah dipasangi pagar dan kawat berduri dan kemudian dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dipasang kembali dan dirusak kembali serta adanya aktivitas penimbunan yang berulang-ulang,” ungkap Trio.
Tidak sampai di situ, pada kasus ini juga muncul pihak ketiga bernama yang mengaku jika telah membeli lahan tersebut dari terlapor Kahar. Ia diduga menjual objek tanah tersebut dengan hanya berbekal foto copy surat yang tidak teregistrasi di kelurahan dan kecamatan kepada Maniur Tua Simamora.
“Tentu ini tidak sesuai dengan putusan MA RI No. 251 K/Sip/1958 yang dipertegas dengan Surat Edaran MA No 7/2012 dimana kemudian Mahkamah Agung membuat pedoman terkait pengertian dan syarat pembeli beritikad baik dalam SE MA No 4/2016,” tegasnya.