Putri Rimba Menggila, Gedung Aisyah ‘Pecah’

Sebuah catatan dari pengamatan

Oleh: Yoan S Nugraha
(Psikoanalisis & Ketua Lembaga Pelestari Nilai Adat dan Tradisi Kepri)

ADVERTISEMENT

Kegiatan sastra yang diselenggarakan oleh Yayasan Konservatori Seni Provinsi Kepulauan Riau Pada Jumat malam (31/1), dengan penampilan drama bangsawan “Putri Rimba” karya Tusiran Suseno yang mentas di satu-satunya Gedung Kesenian yang ada di Kota Tanjungpinang-Aisyah Sulaiman, menjadi sorotan menarik bagi pecinta seni.

Drama ini mengisahkan konflik cinta yang bertepuk sebelah tangan antara Panglima Jalak dan Syarifah, istri Panglima Lenggang. Dalam pementasan ini, penonton disuguhkan dengan berbagai elemen seni.

Tentu dalam tulisan ini, saya coba menganalisis secara amatir elemen-elemen penting dari pementasan ini, serta bagaimana ia mencerminkan dinamika seni pertunjukan di Indonesia.

Drama ini menampilkan sejumlah karakter yang kuat, seperti Panglima Jalak, Syarifah, Panglima Lenggang, dan Saidah.

Setiap karakter memiliki peran yang signifikan dalam menggerakkan alur cerita. Panglima Jalak, yang terjebak dalam cinta yang tidak terbalas, menjadi pusat konflik.

Syarifah, yang sedang hamil muda, menambah kedalaman emosional dalam cerita.

Menurut teori drama Aristotelian, karakter yang kompleks dan konflik yang mendalam adalah kunci untuk menciptakan ketegangan dramatis (Aristotle, Poetics).

ADVERTISEMENT

Alur cerita Putri Rimba disajikan dengan bumbu komplit yang original tanpa bahan pengawet, seperti tari-tarian, pembacaan syair, dan lagu yang diiringi musik Melayu secara langsung. Hal ini menciptakan suasana yang kaya dan beragam, meskipun ada beberapa kekurangan dalam pementasan, seperti latar belakang yang sederhana dan transisi antar babak yang lambat. Namun, elemen-elemen ini tetap mampu menarik perhatian.

Sebagai penonton yang duduk di barisan kedua, saya awalnya skeptis terhadap pementasan ini. Beberapa alasan yang mendasari skeptisisme saya antara lain:
Pengalaman Sebelumnya: Cerita ini sudah pernah saya lihat dipentaskan, sehingga saya merasa kurang antusias.
Latar Belakang Sederhana: Hanya berhiaskan kain hitam tanpa corak, yang tidak sesuai dengan harapan pementasan bangsawan yang seharusnya.

Kekurangan dalam Pementasan: Beberapa celah dalam pementasan, seperti salah satu pengawal yang tidak sesuai karakter tertangkap basah mengenakan sandal jenis Crocs dan delay transisi antar babak.

ADVERTISEMENT

Namun, seiring berjalannya cerita, saya mulai mengikis skeptisisme tersebut. Lakon Panglima Jalak dan Panglima Lenggang berhasil mengubah suasana menjadi lebih serius dan menarik.

Karakter Syarifah juga menambah kedalaman emosional dalam pementasan. Seperti yang diungkapkan oleh Susan Bennett dalam Theatre and Gender (1990), karakter yang kuat dan penggambaran emosi yang mendalam dapat mengubah persepsi penonton terhadap sebuah pertunjukan.

Penonton mulai terbuai oleh penampilan yang semakin menarik. Lakon Panglima Jalak berhasil menarik perhatian penonton dengan penampilan yang serius dan mendalam lengkap dengan misainya yang lancip. Karakter Panglima Lenggang, yang diperankan dengan penuh penghayatan, juga berhasil mencuri hati dengan suara berat dan gerak tubuh yang wibawa. Bahkan interaksi antara Syarifah dan Panglima Lenggang menambah nuansa romantis yang tetap menjaga etika kemelayuan.

ADVERTISEMENT

Kehadiran karakter Awang, meskipun tidak memiliki naskah yang panjang, berfungsi sebagai kiper emosi penonton. Sementara itu, karakter Alang yang muncul sekali namun namanya beberapa kali disebut dalam babak-babak berikutnya, menunjukkan bagaimana penulis naskah mampu menciptakan ketegangan meskipun dengan durasi yang singkat.

Setelah menyaksikan pementasan Putri Rimba, saya menarik vonis skeptis saya seratus persen. saya merasa terkejut dengan perkembangan pementasan ini. Meskipun terdapat beberapa kekurangan, seperti minimnya crew pementasan dan kehadiran kucing yang tidak terduga di atas panggung, penampilan secara keseluruhan berhasil mengubah pandangan saya.

Terlebih lagi, sosok pimpinan produksi yang masih berstatus pelajar SMA, Asram namanya pelajar SMAN1 Tanjungpinang, menunjukkan bahwa bakat dan dedikasi tidak mengenal usia.

Kehadiran Syarifah Lail Al Qadhariani, M.Sn sebagai produser, serta transferensi ruh seni dari Ayahanda Said Parman, menjadi faktor penting dalam kesuksesan pementasan ini. Tanpa mereka, mungkin penampilan ini tidak akan mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman.

Penampilan ini menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kekurangan, kemampuan para aktor dan tim produksi, terutama pimpinan produksi yang masih berstatus pelajar, patut diacungi jempol. Yayasan Konservatori Seni Provinsi Kepulauan Riau telah berhasil menyajikan sebuah pementasan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pelajaran tentang cinta dan pengorbanan.

Akhir kata, tahniah untuk Yayasan Konservatori Seni yang telah berusia 14 tahun! Semoga terus berkarya dan menyala dalam dunia seni. Seperti yang diungkapkan oleh Edward Said dalam Culture and Imperialism (1993), seni adalah medium yang kuat untuk menyampaikan pesan dan membangun kesadaran sosial.

Dengan demikian, pementasan ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebuah refleksi dari dinamika sosial yang ada di masyarakat kita.


Penulis: | Editor: Redaksi


Share This Article

TERBARU

What's New