Sebanyak 500 Kepala Keluarga terdampak terkait Polemik Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Bata menggelar RPD dengan DPRD Batam pada Senin (20/11).
Warga mengadu ke DPRD Batam untuk meminta perhatian dalam menyikapi masalah yang terjadi.
Lewat rapat dengar pendapat umum (RDPU), mereka curhat soal polemik UWT BP Batam yang masih membayangi mereka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Permasalahan UWT BP Batam oleh Koperasi Bhineka Jaya Bengkong Kolam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Rapat dengar pendapat ini dipimpin Ketua DPRD Batam, Nuryanto, Ketua Komisi I DPRD Kota Batam, Lik Khai serta Sekretaris Komisi I, Tumbur M. Sihaloho.
Dalam rapat ini, Ketua DPRD Kota Batam, Nuryanto tampak memaparkan kronologis permasalahan tersebut.
Sejak 2009 lalu, Koperasi Bhineka Jaya mendapat alokasi lahan seluas 7.1 hektare dari Otorita Batam (OB) yang saat ini disebut Badan Pengusahaan (BP) Batam.
“Karena sifatnya koperasi berarti berangkat dari anggota untuk anggota,” ujar Pria yang akrab Cak Nur ini.
Kemudian, setelah mendapat alokasi lahan tersebut, koperasi wajib membayar UWTO. Dari warga juga sudah membayar UWT sesuai yang disepakati pihak koperasi.
Diberikan tenggat waktu selama satu tahun namun belum selesai pembayarannya.
Penyebabnya, ada warga yang sudah lunas, ada warga yang belum lunas dan ada warga yang tidak membayar sama sekali.
Faktornya kemungkinan cukup banyak.
Sehingga hal ini mempengaruhi proses pelunasan UWTO dan mempengaruhi secara keseluruhan termasuk yang sudah lunas.
“Dari sudut pandang BP Batam Koperasi Bhineka akhirnya dicabut perizinannya,” kata Cak Nur.
Hingga tahun 2009 hingga 2022 izin koperasi dicabut. BP Batam memfasilitasi pembayaran kepada masyarakat secara langsung dan tidak lagi melalui koperasi.
Tetapi harus pembayaran dari awal, sesuai dengan sertifikat Program Jokowi sejak 2018. Sementara ada warga yang sudah lunas ke koperasi.