Menu

Mode Gelap

Kiriman Pembaca · 13 Des 2022 22:58 WIB

Kritik Sastra: Praktik Patriarki Pada Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi

Tulisan ini tidak mewakili redaksi kepripedia. Seluruh properti dan isi merupakan tanggungjawab penulis


					Buku perempuan di titik nol. Foto: Thomas Utomo/yoursay Perbesar

Buku perempuan di titik nol. Foto: Thomas Utomo/yoursay


Ditulis oleh Nurmala

Mahasiswi UMRAH


Karya sastra adalah bagian dari refleksi kehidupan yang digambarkan oleh penulis berdasarkan pengalaman pribadi atau dari orang lain. Melalui karya sastra, seorang penulis berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan baik mereka atau pun orang lain rasakan atau alami.

Novel ini, merupakan karya sastra berjenis prosa baru yang didalamnya digambarkan dan dituangkan permasalahan kehidupan yang elusif.

ADVERTISEMENT

Nawal al-Saadawi, seorang novelis Mesir yang juga seorang dokter, Salah satu tokoh perempuan hebat yang berani mengungkapkan pandangannya melalui tulisan demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Budaya patriarki di sana, membawa ia untuk melakukan protes yang disampaikan dalam berbagai karyanya, salah satunya adalah novel berjudul Perempuan di Titik Nol, yang dituliskannya berdasarkan kisah nyata seorang wanita Mesir bernama Firdaus, yang ia jumpai di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika ia sedang melakukan penelitian terhadap gejala-gejala neurosis pada narapidana wanita yang ada di sana.

Dari balik sel penjara, Firdaus yang divonis gantung karena telah membunuh seorang
germo, mengisahkan lika-liku kehidupannya. Sejak kecil, Firdaus hidup di tengah-tengah budaya patriarki dan secara langsung melihat dan merasakan dampak dari budaya patriarki ini dari sangAyah. Seorang laki-laki yang diperlakukan raja oleh istri dan anak-anaknya.

Bagaimana tidak, setiap musim dingin Ayahnya menggeser tikar jerami Firdaus beserta bantalnya ke bilik kecil yang menghadap ke utara, dan menempati sudut tempat Firdaus di dalam ruangan tungku, bukannya tetap tinggal di sisi Firdaus untuk membuat ia hangat tetapi Ibunya biasanya membiarkannya sendirian dan pergi ke ayah untuk membuatnya hangat.

Lalu di musim panas sang ibu duduk dekat kaki ayah dengan sebuah mangkuk timah di tangannya ketika ia membasuh kakinya dengan air dingin, dan ketika Firdaus bertambah besar sedikit Ayahnya meletakkan bangku itu di tangannya dan mengajarinya bagaimana cara membasuh kakinya dengan air.

Selain itu sang ayah tidak akan pergi tidur tanpa makan malam terlebih dahulu, apapun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tidak ada makanan di rumah, mereka semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari Firdaus di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian, sedangkan Firdaus dan lainnya mengamatinya saja.

Pada suatu malam Firdaus memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari Firdaus.

Ketika Firdaus beranjak dewasa, ia ingin bersekolah di tempat pamannya, di El-Azhar. Namun, di sekolah tersebut hanya menyediakan tempat untuk para laki-laki. Ketika ayah dan ibu Firdaus telam tiada, ia tinggal bersama pamannya, disekolahkan pamannya hingga ia SMA. sejak kecil, Firdaus memang dekat dengan sang paman. Ketika pamannya libur sekolah, pasti ia akan membacakan buku untuk Firdaus, meski sang paman melakukan pelecehan terhadap Firdaus kecil yang mana ia belum mengerti maksud dari sang paman.

ADVERTISEMENT

Setelah lulus SMA, ia kembali tinggal bersama pamannya yang telah menikah. Tak lama setelah itu, istri paman menyarankan Firdaus untuk dinikahkan dengan pria tua yang kaya, daripada menambah beban keluarga mereka, pun usia Firdaus saat itu sudah cukup bahkan lebih untuk menikah, bagi seorang wanita pada saat itu. Lalu, ketika ia telah menikah dengan pria tua itu, perlakuan pria itu tetaplah sama dengan pria-pria bejat yang lain, seperti ayahnya. Karena tidak tahan dengan perlakuan tersebut, Firdaus lari dan pergi dari kota itu.

Dalam pelariannya, ia bertemu pria yang berjanji akan menolongnya dengan memberikan pekerjaan, namun malangnya tindakan bejat dan pelecehan yang ia alami. Lalu, ia berhasil melarikan diri dan meninggalkan kota itu. Ia bertemu dengan seorang perempuan baik yang membantunya. Memberikan kehidupan mewah saat itu dengan kehidupan awal Firdaus sebagai pelacur.

Serangkaian peristiwa panjang dan keras dilalui Firdaus, sehingga menjadikan ia wanita dewasa yang kuat. Ia memilih menjadi pelacur kelas atas setelah hatinya dipatahkan oleh seorang lelaki, teman kantornya yang meninggalkannya demi perempuan kaya raya. Di titik itu, kebencian Firdaus terhadap laki-laki semakin memuncak. Baginya menjadi pelacur lebih baik daripada seorang suci yang sesat, ia dapat meletakkan tarif tubuhnya dengan harga yang sangat tinggi sesuai dengan keinginannya.

ADVERTISEMENT

Hingga suatu ketika, ia dipaksa oleh seorang laki-laki germo untuk menjadi bawahannya dengan perjanjian ia akan dilindungi olehnya. Namun, Firdaus tidak ingin dijadikan budak lagi oleh siapa pun. Ia inginkan kendali akan dirinya sendiri. Hingga ia membunuh germo tersebut.

Setelah kejadian itu, ia bertemu dengan seorang pangeran Arab yang membayarnya dengan harga
yang sangat tinggi. Firdaus menganggapnya tidak lebih baik daripada seekor serangga, dan apa yang diperbuatnya hanyalah menghabiskan uang beribu-ribu yang diambil dari rakyatnya yang mati kelaparan untuk diberikan kepada pelacur. Lalu, Firdaus dapat dikatakan melakukan percobaan pembunahan kepada pangeran Arab itu dengan mencoba kembali mengangkat tangannya bersiap untuk memukulnya, namun pangeran Arab itu bertiak hingga polisi datang, dan ia berakhir di penjara dan dihukum mati.

Kejamnya budaya patriarki yang dihadapi Firdaus saat itu. kebencian Firdaus terhadap keadaan sosialnya membuat ia membenci laki-laki. Bahkan ia mengungkapkan bahwa laki-laki adalah hewan buas yang dikuasai nafsu.

ADVERTISEMENT

Sebuah buku yang keras dan pedas memang sangat tepat untuk melambangkan buku ini, sebagaiman yang Mochtar Lubis ungkapkan pada pengantar buku.

Sebagai seorang perempuan, ketika membaca buku ini membangunkan rasa empati saya terhadap wanita-wanita seperti Firdaus. Wanita pada saat itu ditempatkan pada posisi yang sangat-sangat rendah, tak ada harga diri jika
tidak berasal dari keluarga kaya dan memiliki jabatan tinggi. Buku ini juga memberikan sebuah pandangan baru bahwa percaya pada diri sendiri dan berani dengan melawan keadaan adalah bentuk mencintai diri sendiri dan bentuk pembelaan terhadap diri.

Namun, di beberapa halaman, saya tidak sepakat tentang pandangan Firdaus pada saat itu mengatakan bahwa semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Saya pikir, tidak semua perempuan seperti itu, jika sikap relegius yang dimiliki tinggi, bahkan rela mati asalkan tidak menjual diri mereka pada laki-laki.

Selain itu, dari segi kebahasaan, banyak pengulangan kata yang membuat pembaca menjadi bosan, Lalu, beberapa bagian peralihan sudut pandang penokohan, di beberapa bagian membuat pembaca keliru.

Gabung dan ikuti kami di :
Artikel ini telah dibaca 194 kali


whatsapp facebook copas link

Baca Lainnya

Senam Goyang Gemoy Prabowo-Gibran Daerah 3T Anambas

30 Januari 2024 - 13:06 WIB

Senam goyang gemoy prabowo gibran

Putusan MK Syarat Cawapres Diuji Rakyat dalam Pemilu Presiden 2024

17 Oktober 2023 - 16:10 WIB

Gedung Mahkamah Konstitusi

Dampak Jika Skripsi Dihapus sebagai Syarat Kelulusan Bagi Mahasiswa

27 September 2023 - 10:23 WIB

Ilustrasi skripsi

Berkolaborasi untuk Kemakmuran Bersama: Kontribusi MUI dalam Membangun Indonesia yang Maju Secara Ekonomi Melalui Keberagaman

18 Juli 2023 - 15:35 WIB

Muh arifin

Bahasa Indonesia Dalam Pengembangan Karakter di Masyarakat 

12 Juli 2023 - 13:50 WIB

cnxi7hlrdxhsyajwj8j0

Perang Sarung, Salahkah?

13 April 2023 - 22:59 WIB

OPINI Chandra Wati
Trending di Netizen