Pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) solar bersubsidi untuk mengakomodir kebutuhan nelayan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, saat ini patut diuji.
Pasalnya, situasi ketersediaan BBM kini menjadi isu yang cukup disoroti oleh berbagai pihak akibat kelangkaannya. Salah satu yang terdampak langsung adalah nelayan untuk memenuhi kebutuhan melaut.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri (Satker Karimun) mencatat bahwa hingga saat ini sebanyak 2.285 unit kapal nelayan berkapasitas 1 hingga 10 Gross Tonnage (GT) beroperasi di wilayah perairan Karimun.
Kemudian, terdapat sebanyak 459 unit berdimensi 10-30 GT yang setiap harinya memerlukan BBM solar sebagai bahan bakar mencari ikan di laut.
Baca Juga
Dari data tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan BBM kapal-kapal tersebut diperhitungkan berdasar formula yang mengacu pada Permen KKP No 13 tahun 2019 mencapai 50.876 KL. Sementara kuota yang ada saat ini hanya 19.514 KL.
“Apalagi memang pertumbuhan pengadaan kapal perikanan di Karimun itu memang meningkat signifikan. Pada 2021 saja bertambah 89 unit dengan bobot 10 hingga 30 GT,” ujar Kepala Cabang DKP Kepri Satker Karimun, Anwar, Selasa (14/6).
Kuota BBM solar subsidi yang ada saat ini berdasarkan Keputusan Kepala BPH Migas RI No 32/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2022, didistribusikan melalui 7 perusahaan yang tersebar di wilayah Karimun.
Artinya, kata Anwar, kuota yang ada pada dasarnya memang tidak mampu memenuhi kebutuhan kapal-kapal yang memerlukan BBM solar.
“Memenuhi kebutuhan 459 kapal saja kuota itu memang tidak cukup. Jadi diawasi seketat apapun pada dasarnya memang tidak cukup,” terangnya.
Tidak tercukupinya kebutuhan BBM tersebut, juga dipicu dengan kurang efektifnya pembaharuan data kapal dengan kategori 1 hingga 30 GT yang beroperasi di wilayah Karimun.
Pemicu lainnya juga, menurut Anwar, disebabkan peningkatan kebutuhan kapal-kapal yang sebelumnya tidak mendaftarkan sebagai penerima BBM subsidi.
“Selama ini banyak pemilik kapal yang membeli solar dari Black Market (BM). Karena di tahun 2019 itu, harga solar BM lebih murah. Sehingga mereka tidak mendata kan diri sebagai pengguna Subsidi. Ketika solar dunia naik otomatis solar BM juga naik, dan mereka kembali lagi mencari solar subsidi yang jauh lebih murah,” ucap dia.
Dia mengatakan, jika pendataan kapal Pemerintah Kabupaten tidak relevan dengan pesatnya pertumbuhan industri maritim saat ini. Akibatnya, menyebabkan berpengaruh terhadap data dan informasi yang diberikan kepada BPH Migas.
“Jumlah kapal setiap tahun meningkat di Karimun, bahkan untuk pengadaan dari DKP provinsi saja, sejak tahun 2019 hingga tahun 2021 sebanyak 256 unit yang sebelumnya hanya berjumlah 164 unit. Apalagi kapal milik perseorangan?, Tentunya, data inilah yang menjadi acuan Pemda untuk merevisi kuota solar,” ungkapnya.
Selain itu, Anwar juga menanggapi adanya dugaan ‘permainan nelayan solar’ yang diduga menjadi penyebab terjadinya kelangkaan BBM solar subsidi seperti kondisi saat ini.
“Memang tidak dipungkiri, upaya-upaya itu bisa saja terjadi. Kapal-kapal ini membeli solar, lalu kemudian meminta rekomendasi, tapi kapal tidak jalan. Nah di sini baru memang pengawasan ketat harus dilakukan,” tutup dia.