Pemerintah Kabupaten Lingga tampak gencar merealisasikan rencana penataan Daik sebagai kota wisata budaya dan religi.
Rencana pengembangan untuk Daik yang terkenal dengan istilah Bunda Tanah Melayu ini juga terlihat dari sejumlah pembahasan yang dilakukan Bupati Lingga, Muhammad Nizar, bersama sejumlah instansi pada Rabu (19/1).
Bupati Lingga bersama instansi terkait berupaya menjemput pembangunan, mulai dari ke Kementerian hingga program Hibah Millennium Challenge Compact (MCC) yang merupakan program dari Pemerintah Amerika Serikat dari Bapennas RI.
Sementara di tingkat daerah, Pemkab Lingga mulai menggelar sejumlah diskusi-diskusi singkat, Fokus Grup Discussion (FGD) dengan dinas terkait bahkan tokoh-tokoh dari masyarakat, seperti rencana penataan Lapangan Hang Tuah yang bakal direalisasikan tahun ini.
Pemerintah daerah juga sedang menyusun rencana pembangunan trotoar jalan di Kota Daik, mulai dari simpang dealer hingga menuju ke lapangan Hang Tuah, yang diharapkan selesai pada APBD-P tahun ini. Begitu juga dengan konsep Daik Bandar Madani serta anjungan Kabupaten/Kota se-Kepri di Kota Daik.
Peningkatan pembangunan tersebut tentunya tidak lepas dari keinginan menjadi Daik sebagai pusat pariwisata religi dan budaya dengan beberapa desa disekitarnya, yakni Desa Mepar dan Desa Panggak Darat.
Adapun dasar inisiasi Pemkab Lingga ini diambil karena Daik merupakan pusat tamadun melayu, sejak era kesultanan Mahmud Riayat Syah III, dan telah diakui sebagai Bunda Tanah Melayu oleh negara-negara Melayu Serumpun sejak tahun 1991 lalu.
“Wisata sejarah dan wisata religi, Kabupaten Lingga cukup lengkap. Dan kita memang harus fokus ke situ. Seiring dengan program-program Dinas Pariwisata yang telah tersusun. Itu bisa berjalan beringinan. Namun rencana ini memang harus kita keroyok. Agar kita benar-benar siap menjadi daerah pariwisata,” ujar Nizar dalam keterangannya.
Karena itu, ia mengajak dinas-dinas bersangkutan untuk berinovasi serta bersinergi dengan baik, dan tepat pada waktunya, Daik, Mepar dan Pangggak Darat menjadi tempat Wisata Budaya dan Religi.
Selain peran pemerintah, rencana tersebut tentunya memerlukan dukungan dan peran serta masyarakat.
Nizar juga menekankan kepada Dinas Pariwisata, Kecamatan Lingga, serta peran PKK Kabupaten Lingga untuk dapat memberikan sosialisasi atau bahkan pelatihan-pelatihan sadar wisata kepada masyarakat, baik itu di Daik sendiri, bahkan di desa-desa bersangkutan.
“Karena kita fokus di kecamatan Lingga ini. Tentu perlu keterlibatan masyarakat. Ini yang harus kita persiapkan, baik itu dalam memberikan sosialisasi atau pelatihan-pelatihan. Memang masyarakat yang bersangkutan harus siap, misal dalam menyediakan homestay. Maka itu perlu dilakukan gerakan bersama dalam waktu waktu tertentu,” ujar Nizar.
Penataan ini dimaksud sebagai langkah dini, dalam persiapan menjadikan wilayah Kecamatan Lingga sebagai pusat Kota Budaya yang identik dengan wisata Budaya dan Religi.
Tak hanya itu, Gunung Daik dan Sepincan bakal menjadi pelengkap, menyuguhkan wisata alam yang menakjubkan.
“Saya yakin dan percaya apabila, Malaysia ataupun Singapura sudah dibuka ke Lagoi, sebagaimana janji pemerintah kota Batam, dan Dinas Pariwisata Provinsi. Mungkin akan terjawab setiap bulan itu 500 wisatawan,” papar Nizar.
Sebagaimana diketahui Kota Daik, memang sudah dikenal sebagai pusat pemerintahan kesultanan Melayu sejak tahun 1787. Masa berpindahnya pusat kerajaan dari Hulu Riau oleh Sultan Mahmud Riayat Syah III.
Tentunya sepeninggal para Sultan Melayu ini banyak meninggal bukti, betapa hebatnya tamadun masa dulu di Daik.
Budaya melayu yang kental, kearifan lokal, kesenian, keagamaan, pendidikan dan lainnya. Dengan bukti sejarah yang kaya ini, sehingga diakui dan mendapatkan gelar Bunda Tanah Melayu.